Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur menegaskan bahwa
terorisme, radikalisme, dan berbagai bentuk kekerasan di Indonesia,
termasuk tawuran pelajar, itu bukan hal yang ada secara tiba-tiba,
melainkan hal itu menjadi bagian dari invasi ekonomi dan kultural dengan
“kemasan” globalisasi.
“Ada pengakuan menarik dari seorang pelaku teroris di Solo kepada
keluarganya bahwa dia dibayar Rp5 juta untuk menjadi intelijen teroris
di Lamongan, Surabaya, dan Madura. Jadi, terorisme itu bukan tiba-tiba,
tapi ada yang membayar untuk target ekonomi dan kultural,” kata Wakil
Sekretaris PWNU Jatim H Nur Hidayat di Surabaya, Ahad 28 Oktober 2012.
Ia mengemukakan hal itu dalam seminar sumpah pemuda bertajuk
“Menangkal Radikalisme Pelajar di Jawa Timur untuk Menjaga Kedaulatan
NKRI” yang digelar PW Ikatan Pelajar NU (IPNU) Jawa Timur yang dihadiri
150 peserta dari kalangan aktivis IPNU se-Jatim dan pelajar
SMP/SMA/MA/SMK di Jatim.
Menurut Nur Hidayat yang juga peneliti JPIP itu, solusi untuk
menangkal terorisme, radikalisme, tawuran, dan berbagai bentuk kekerasan
itu bukan melakukan perlawanan kepada mereka, namun cukup dengan
melakukan gerakan “sadar globalisasi”.
“Misalnya, playstation itu mengajarkan kekerasan kepada anak-anak,
karena itu kita harus menyadari dengan menciptakan permainan yang
‘mengatasi’ playstation itu dan juga mengajarkan anak-anak untuk
bersikap kritis terhadap segala bentuk kecanggihan yang tidak mendidik,”
tuturnya.
Untuk kalangan pelajar, misalnya, adanya “Gangnam Style” dari Korea
hendaknya disadari sebagai bentuk penjajahan ekonomi dan kultural,
karena itu harus dilawan dengan berbagai kegiatan serupa tapi khas
Indonesia. Contoh lainnya, para peneliti pangan harus melawan beras atau
buah-buahan asing dengan varietas unggul dari Indonesia.
“Jadi, resepnya lawan globalisasi dengan lokalisasi, maksudnya segala
sesuatu yang bersifat lokal. Saya berharap IPNU melakukan judicial
review tentang organisasi ektra yang dilarang masuk sekolah, sehingga
IPNU atau IRM bisa masuk untuk mencegah bibit radikalisme pelajar lewat
organisasi intra pelajar dan watak kekerasan pelajar,” tukasnya.
Sementara itu, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya Choirul Mahfud MPdi
selaku pembicara lain menegaskan bahwa sumber terorisme dan radikalisme
adalah berkembangnya sikap intoleran di masyarakat.
“Sikap intoleran itu menurut survei LSI diakibatkan dua hal yakni
pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah, karena itu IPNU harus
mengembangkan sikap toleran di kalangan pelajar melalui pelatihan atau
cara lain yang langsung dikhususkan pelajar yang terkesan keras,”
ujarnya.
Selain itu, Direktur Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya
itu mengharapkan IPNU juga harus mengampanyekan bahwa jihad itu bukan
pedang dan bom, tapi belajar sungguh-sungguh, bekerja keras, dan
menghindarkan keburukan bagi masyarakat, seperti bom yang harus
dihindari karena justru berdampak buruk bagi masyarakat.
Dalam seminar pendidikan itu, IPNU Jatim juga meluncurkan beasiswa
PASTI (pelajar dan santri berprestasi) senilai Rp500 ribu per semester
untuk setiap anak.
“Langkah awal, kami bekerja sama dengan Kemendikbud menyerahkan
voucher beasiswa Rp550 ribu per anak untuk 15 pelajar SMP dari keluarga
miskin, tapi nantinya kami melibatkan alumni IPNU dengan beasiswa untuk
aktivis berprestasi,” kata Ketua PW IPNU Jatim Imam Fadlli.
Selain itu, IPNU juga meluncurkan website/laman IPNU untuk menangkal
radikalisasi di kalangan pelajar dan mahasiswa. “Nantinya, kami juga
akan membawa usulan “judicial review” organisasi ekstra di kalangan
pelajar pada Kongres IPNU di Palembang untuk mencegah radikalisme juga,”
paparnya.
Pimpinan Anak Cabang IPNU IPPNU Paciran turut ikut serta dengan
mendelegasikan 18 Anggotanya. kemudian setelah usai seminar tersebut
melanjutkan Ziarah Wali ke Makam Sunan Ampel Surabaya.